Kompas | 21 Oktober 2023
Lambang Wiji Imantoro (Tax Policy Analyst di Pratama Institute for Fiscal Policy and Governance Studies)
Judi daring atau judi online belakangan tengah ramai menghiasi rubrik-rubrik pemberitaan nasional. Satu di antara kita tentu pernah tanpa sengaja melihat iklan judi online. Pesatnya kemajuan teknologi berdampak kepada menjamurnya situs-situs judi online.
Perputaran uang yang besar dari judi online telah menyeret berbagai kalangan terlibat dalam gurita bisnis judi online. Dari anggota dewan hingga pesohor Tanah Air kedapatan terlibat dalam lingkaran judi online, dari yang memainkan hingga yang mempromosikan.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat hingga Agustus 2023 transaksi judi online mencapai Rp 200 trilliun. Angka ini naik drastis dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp 81 trilliun. Terbaru, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memblokir 1.700 rekening bank yang terkait dengan judi online.
Ge(mer)lapnya dunia perjudian
Persoalan judi online tentu tidak dapat dipandang sebelah mata. Banyak dampak negatif yang dihasilkan dari praktik perjudian ini, mulai dari yang mendekam di rumah sakit jiwa karena kadung keranjingan bermain judi online, hingga mereka yang nekat melakukan tindakan kriminal karena diiringi motif judi online.
Sejak era prakolonial, bangsa Indonesia memang tak lepas dari kasus perjudian. Seolah perjudian menjadi momok, banyak para penguasa di masanya masing-masing berusaha memberangus perjudian ini, tetapi tak sedikit juga yang melihat potensi perjudian kemudian berdamai dan memilih memaksimalkan perputaran uang dari hasil perjudian.
Walaupun bertentangan dengan norma dan moral keagamaan, faktanya meja judi tak pernah sepi peminat. Di masa VOC berkuasa, masyarakat Batavia kerap menghabiskan waktunya di meja judi.
Puncaknya pada awal abad ke-18 banyak bermunculan rumah judi ilegal yang membuat pemerintah VOC berang. VOC pada akhirnya menggulirkan sejumlah aturan untuk mengendalikan perjudian, seperti melarang rumah judi beroperasi pada hari Minggu, hari raya, sekaligus memperketat jam operasional rumah judi. Tak sampai di situ, pemerintah kolonial juga melarang orang Eropa dan pribumi bermain judi. VOC bubar, tetapi tidak demikian dengan perjudian.
Banyak literatur yang membahas mengenai sejarah perjudian dari aspek perpajakan hingga hukum. Namun, tak ada yang paling dikenang melebihi masyhurnya cerita Gubernur Jakarta Ali Sadikin.
Dengan hanya bermodal APBD Rp 66 juta, Bang Ali, sapaan akrab Ali Sadikin, harus membangun ibu kota yang saat itu dihuni lebih dari 3 juta jiwa. Tugas Bang Ali teramat besar saat itu, di satu sisi ia harus memastikan pembangunan Ibu Kota terus berjalan, tetapi di lain sisi warga Ibu Kota banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan, adapun orang kaya Jakarta banyak yang enggan membayar pajak saat itu.
Puncaknya, Ali Sadikin melegalkan perjudian pada 1967 melalui Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 805/A/k/BKD/1967.
Satu-satunya cara Bang Ali harus mencari sumber pemasukan baru yang bisa dipajaki. Puncaknya, Ali Sadikin melegalkan perjudian pada 1967, melalui Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 805/A/k/BKD/1967, dengan dasar hukum UU Nomor 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah.
Hasilnya, kebijakan ini berhasil dan pemasukan Jakarta meroket. Dari uang haram ini, pemerintah Jakarta dapat membangun fasilitas sekolah, Taman Ismail Marzuki, terpeliharanya jalan-jalan Ibu Kota, serta membenahi perkampungan kumuh. Di akhir kepemimpinannya, Ali Sadikin (1977) berhasil mewariskan APBD yang 1.800 kali lipat dari sebelumnya, yaitu mencapai Rp 122 miliar.
Upeti untuk penjudi apakah solusi?
Pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie beberapa waktu lalu mengenai pengenaan pajak terhadap transaksi judi online menuai banyak cibiran. Apabila menilik pada siapa yang paling terdampak, wajar jika penolakannya terasa lebih kuat daripada dukungannya.
Faktanya, kebanyakan para pengundi nasib di situs judi online adalah golongan masyarakat menengah ke bawah. PPATK mencatat 90 persen transaksi judi online dilakukan kelompok masyarakat medioker ke bawah dengan pendapatan harian tidak lebih dari Rp 100.000.
Pertanyaannya, mengapa Menkominfo ingin memajaki judi online? Sederhananya, Budi beranggapan agar uang dari Indonesia tak lari ke negara lain. Budi mengklaim nilai transaksi uang judi yang dibawa kabur keluar negeri mencapai Rp 150 triliun. Ia mengklaim, dengan adanya pemberlakuan pajak untuk judi online, pemerintah dapat mencegah uang tersebut dibawa kabur keluar negeri.
Lantas apakah pengenaan pajak dapat memberangus judi online? Sayangnya, dalam realitas kontemporer, wacana ini bukanlah solusi. Adanya pemajakan terhadap judi online justru akan memunculkan potensi menjamurnya situs judi online ilegal.
Kalau demikian, mengapa tidak dilegalkan saja? Dalam realitasnya justru dengan melegalkan judi online bukan berarti pemerintah dapat dengan mudah mengatur perjudian. Faktanya akan semakin banyak bermunculan situs judi online ilegal karena para bandar akan menangkap sinyal bahwa pemerintah telah melegalkan perjudian. Jika peredaran situs judi online ilegal semakin massif dan tidak terkendali, situs judi online tersebut akan jauh lebih berbahaya.
Tidak absah rasanya membandingkan keberhasilan Ali Sadikin dengan apa yang diwacanakan Menkominfo. Dalam sejarahnya, pajak perjudian era Bang Ali menyasar rumah judi yang legal, para pemainnya bukanlah masyarakat medioker, serta tempatnya jelas wujud dan bentuknya. Pertanyaannya, siapa yang akan pemerintah pajaki jika situsnya saja bersifat siluman alias sulit dideteksi keberadaanya?
Akan jadi gegabah jika masyarakat yang malah dijadikan subyek/obyek pajaknya, bak peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga, para pelaku judi online yang mayoritas berpenghasilan UMR ke bawah sudah kalah berjudi mereka juga harus menanggung pajaknya. Lantas wajar jika kebijakan pengenaan pajak ini dalam jangka panjang akan berdampak kepada menjamurnya kriminalitas serta dapat menurunkan produktivitas masyarakat.
Menerkam pelaku judi ”online”
Judi online tak hanya berdampak terhadap kerusakan moral para pencandunya, lebih daripada itu judi online akan berdampak kepada matinya perputaran uang di masyarakat. Faktanya, perputaran uang terbesar justru terjadi di golongan masyarakat akar rumput, dan malangnya mayoritas (90 persen) pemain judi online berasal dari kelas ini. Dampaknya ekonomi masyarakat akan hancur.
Permasalahan utama perilaku perjudian bukan hanya terletak di situsnya, tetapi juga pada kebiasaan masyarakat yang kadung menggemari judi. Banyaknya angka kriminalitas akibat judi online serta besarnya perputaran uang di sana menjadi bukti betapa judi online digemari masyarakat. Tak hanya menjebak pemain lama, setiap hari selalu ada pemain baru yang terseret dalam permainan.
Jika letak persoalannya pada situsnya, pemerintah harus sadar bahwa kejahatan ini bukan lagi kejahatan biasa. Bareskrim Polri mengungkapkan server (peladen) judi online di Indonesia beroperasi di Kamboja dan Filipina, itu artinya kejahatan judi online sudah bersifat lintas negara. Jika pemerintah berkomitmen memberangus media perjudian, hal yang paling kongkret ialah bersinergi dengan banyak negara untuk memberantas situs judi online secara bersama-sama.
Memberantas judi online lewat regulasi pengenaan pajak bukanlah solusi permanen untuk memberantas perjudian. Lagi-lagi jika pajak judi online ini dipaksakan dan dianggap mampu memberikan efek jera atau dapat berfungsi sebagai instrumen pengendalian prilaku, ujung-ujungnya hanya akan seperti realitas pengenaan cukai rokok yang naik tiap tahun, tetapi gagal menurunkan angka perokok malahan menambah peredaran rokok ilegal.
Solusi nyata yang harus dilakukan pemerintah ialah memberikan efek jera kepada para pemain, operator perjudian, terutama mereka yang mempromosikan. Maraknya pemasaran situs judi online oleh para pesohor menjadi bukti lemahnya pencegahan melalui perangkat hukum. Belum lagi realitas memilukan jika judi online juga digandrungi oleh anak usia sekolah. Ini menjadi bukti nyata jika menghukum seberat-beratnya mereka yang terlibat dalam judi online harus diwujudkan.
Bak narkoba, judi online juga dapat merusak mental generasi bangsa, lebih buruknya lagi potensi kriminalitas dari judi online jauh lebih berbahaya. Maka, sudah selayaknya mereka yang terlibat mendapatkan hukuman yang berat.