Kumparan Plus | 18 Maret 2024
Beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan pemerintah memastikan akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 mendatang. Secara Undang-Undang, pemerintah memang dapat menaikkan tarif PPN hingga 15%. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Pemerintah sebenarnya pernah menaikkan PPN pada 1 April 2022 lalu. Saat itu pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 11%, dengan tujuan untuk mencapai target penerimaan pajak sebesar Rp1.510 triliun, sekaligus sebagai upaya percepatan pemulihan Covid-19.
Mengingat kontribusinya yang begitu besar terhadap penerimaan pajak, maka wajar bagi pemerintah menjadikan PPN sebagai komponen penerimaan pajak yang perlu untuk dioptimalkan. Sepanjang masa Pandemi Covid-19 tepatnya sejak 2020, kinerja PPN terus mengalami peningkatan. Menteri Keuangan, Sri Mulyani pada saat itu mengatakan penerimaan PPN sepanjang 2021 mencapai Rp551,0 triliun yang setara 106,3% dari target awal Rp518,55 triliun. Sedangkan untuk 2023, penerimaan PPN telah terkerek hingga mencapai Rp764 triliun.
Meskipun menaikkan tarif PPN akan menaikkan penerimaan pajak, pasalnya tidak mungkin masyarakat tidak bertransaksi, namun kenaikan PPN tentu punya efek lain, dan yang paling niscaya kenaikan pada harga barang konsumsi. Lalu apakah kenaikan PPN dirasa tepat?
Kenaikan PPN Berpotensi Mengancam Kesejahteraan Masyarakat
Pada 2022 lalu, Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA) merilis laporan mengenai tanggapan masyarakat ketika tarif PPN naik 11%. Dengan melibatkan 800 responden di 40 provinsi, hasilnya menyatakan jika 77,37% responden menolak kenaikan tarif PPN. Mayoritas masyarakat beranggapan kenaikan tarif PPN dapat menghambat pemulihan ekonomi yang berakibat pada meningkatnya angka kemiskinan.
Argumen tersebut cukup beralasan bahkan hingga saat ini (2024). hingga November 2023 Bank Indonesia (BI) merilis angka inflasi nasional naik 2,6% (yoy) yang diakibatkan kenaikan kebutuhan pokok di pasaran. Belum lagi awal 2024 ini terjadi banyak kelangkaan komoditas yang menyebabkan melambungnya harga kebutuhan di pasaran.
Menilik ragam persoalan yang tengah terjadi, rasanya menaikkan tarif PPN di saat pemulihan ekonomi belum maksimal tentu akan berpotensi memperteruk keadaan. Sektor akar rumput yang dihuni masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah yang paling merasakan dampaknya. Efek dominonya angka kemiskinan bertambah, berujung pada semakin melebarnya jurang disparitas dan kesenjangan ekonomi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin di Indonesia sepanjang 2023 sebesar 9,36% atau 25,9 juta orang. Angka ini memang menunjukkan penurunan 0,21% poin dari September 2022 dan 0,18% poin dari Maret 2022 Meskipun demikian, apakah rilis data BPS tersebut dapat dibenarkan? Secara sederhana definisi miskin versi BPS ialah mereka yang hanya mencatatkan pengeluaran bulanan sebesar Rp486.168 atau dengan rata-rata pengeluaran harian Rp16.250. Artinya mereka yang pengeluarannya di atas Rp16.250 tidak dapat digolongkan dalam kategori miskin.
Bila pemerintah selalu merujuk pada standar internasional dalam menerapkan kebijakan ekonomi, maka pemeritah wajib menetapkan standar kemiskinan sesuai standar World Bank, di mana pengeluaran minimum perhari masyarakat harus mencapai $1,90USD sekitar Rp28.000. Maka sekitar 40% populasi masyarakat Indonesia tergolong dalam golongan miskin.
Apa hubungannya antara angka kemiskinan dengan kenaikan PPN? Mengingat sifat PPN yang pembebanannya langsung ditanggung dan dibayar oleh konsumen akhir, maka naiknya tarif PPN tentu berdampak pada naiknya pengeluaran harian masyarakat, sehingga dapat menekan daya beli masyarakat. Kesenjangan ekonomi tak terelakkan. Imbasnya akses mobilitas sosial mereka semakin tertutup akibat fokus pada pemenuhan kebutuhan pangan yang harganya terus melambung. Masyarakat kelas bawah pada gilirannya tidak memiliki pilihan selain terus hidup dalam jerat kemiskinan.
Inflasi juga jadi ancaman yang paling nyata. Kenaikan PPN tentu berdampak pada naiknya harga bahan baku produksi dan keseluran ongkos produksi. Imbasnya sektor industri dan jasa juga terdampak. Agar tetap beroperasi maka sector industri dan jasa harus mampu menyesuaikan harga. Inflasi jadi keniscayaan akibat nilai uang terus mengalami penurunan dari dampak yang ditimbulkan oleh naiknya harga kebutuhan dan jasa.
Selain itu dalam waktu dekat konsumsi rumah tangga juga mengalami kontraksi. Jepang pernah merasakan dampak negatif dari menaikkan tarif PPN yang berimbas pada terkontraksinya konsumsi rumah tangga masyarakatnya. Pada medio 1997, Jepang menaikkan tarif PPN dari 3% menjadi 5%. Setahun berselang konsumsi rumah tangganya terkontraksi -0,76%. Kemudian pada 2014, tarif PPN Kembali dinaikkan menjadi 8% dan Oktober 2015 naik jadi 10%, meskipun tarif PPN untuk barang kebutuhan sehari-hari tetap rendah, nyatanya konsumsi rumah tangganya tetap terkontraksi sebesar -0,93%.
Kenaikan tarif PPN saat ini juga dirasa mencoreng spirit keadilan pajak akibat kenaikannya yang tak pandang bulu dan menyasar seluruh kalangan. Akar rumputlah yang lagi-lagi jadi korban kebijakan. Asumsinya mereka yang sehari-hari mengkonsumsi nasi dan garam di dalam gubuk sederhana beralas kardus harus membayar PPN dengan persentase tarif yang sama dengan mereka yang mengkonsumsi kaviar dalam rumah mewah nan megah.
Pemeritah dapat belajar dari beberapa negara yang lebih dulu menerapkan skema tarif PPN yang tinggi, namun masih mengedepankan konsep keadilan seperti Hungaria. Hungaria menerapkan skema PPN multitarif dengan reduced rate 5% untuk beberapa makanan pokok dan obat-obatan, dan reduced rate 18% untuk layanan internet, restoran dan produk katering, produk susu dan roti, serta hotel. Dengan skema tersebut Hungaria menjadi salah satu negara dengan tarif PPN tertinggi namun masih mengedepankan keadilan dalam penerapannya
Alternatif lainnya pemerintah juga dapat belajar dari Norwegia yang sukses besar dalam menerapkan wealth tax kepada 1% populasi orang kaya, yang terbukti efektif menambah penerimaan negara serta mampu memangkas angka ketimpangan sosial.
Ada banyak cara yang dapat dilakukan pemerintah dalam upaya memangkas defisit anggaran hingga menunaikan target ambisius penerimaan negara tanpa harus mengorbankan masyarakat pra sejahtera yang populasinya mencapai 40% dari keseluruhan penduduk negeri.
Menaikkan PPN Apakah Sudah Bijak?
Meskipun tidak ada kebijakan yang benar-benar ideal namun agar tidak berujung distopia, penting bagi pemerintah untuk memastikan kenaikan PPN berdampak positif dan signifikan pada pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Penerimaan PPN dapat dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok pra-sejahtera melalui program bantuan sosial, susbsidi kebutuhan pokok, atau insentif pajak yang ditujukan untuk kelompok masyarakat medioker.
Selain itu penerimaan PPN juga dapat dialokasikan pada pembangunan infrastruktur dan layanan publik yang manfaatnya wajib langsung dirasakan oleh kelompok-kelompok pra-sejahtera. Selanjutnya penerimaan PPN juga dapat digunakan untuk menstimulasi sektor ekonomi strategis yang berpotensi pada penciptaan lapangan kerja baru, misalnya melalui insentif pajak untuk industri kreatif dan sektor padat karya. Penerimaan PPN juga dapat dialokasikan untuk investasi di sektor pendidikan dan inovasi teknologi perpajakan.
Menjadi miskin memakan biaya lebih mahal dari orang kaya nampaknya bukan isapan jempol belaka. Akibat harga kebutuhan pangan yang terus naik yang diperteruk dengan kenaikan tarif PPN, golongan prasejahtera tak punya pilihan selain menunggu bantuan atau meminjam pada pinjol-pinjol dan para rentenir yang menawarkan pinjaman ilegal dengan bunga yang mencekik. Sementara mereka yang kaya ketika dihadapkan dalam kondisi sulit dapat mengajukan kredit pada perbankan dengan segala keringanan yang ditawarkan.
Untuk itu, penting bagi pemerintah untuk memperhatikan dampak sosial dan ekonomi dari kebijakan ini. Penting bagi pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang tepat dalam upaya memastikan kebermanfaatan yang dapat dirasakan secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, kita dapat berharap bahwa kenaikan tarif PPN ini tidak hanya akan membebani masyarakat, tetapi dalam jangka panjang berdampak signifikan bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Ketimpangan sosial seolah jadi pemandangan yang biasa saja. Semakin hari pemerintah semakin terang-terangan menjadikan rakyatnya sebagai objek bisnis dengan maraknya kebijakan yang menjauhkan masyarakat dari taraf hidup sejahtera. Melambungnya harga beras, tak terkendalinya harga komoditas, hingga inflasi yang semakin tidak terkendali, dan disempurnakan dengan menaikkan tarif PPN di saat pertumbuhan perekonomian masih jauh dari taraf pemulihan apalagi kebangkitan. Lahirnya kemiskinan struktural jadi pemandangan sehari-hari kita, di mana kesenjangan dan kesengsaraan jadi nasib yang terus mengintai masyarakat akar rumput yang tak pernah diperhatikan kesejahteraannya.
Artikel ini telah tayang di laman Kumparan Plus dengan judul “Distopia Kenaikan PPN” pada 18 Maret 2024, melalui tautan berikut:
https://kumparan.com/lambangwiji98/distopia-kenaikan-ppn-22NCdY4jrfn/full