Saat ini, sistem pajak suatu negara dapat menjadi salah satu alat paling efektif untuk mempromosikan kesetaraan di masyarakat. Perpajakaan Berbasis Gender atau Gender Based Taxation (GBT) belakangan ini menjadi isu yang terus mendapat perhatian para pemangku kebijakan diseluruh dunia, terutama saat isu ini menjadi salah satu hal penting yang telah dijadikan bahan diskursus penting di forum Presidensi G20 Indonesia yang lalu.
Lalu apa itu Perpajakaan Berbasis Gender/ Gender Based Taxation (GBT)? Meski hingga saat ini belum ada definisi yang spesifik membahas GBT secara spesifik, namun pada dasarnya GBT bertujuan untuk melahirkan satu kebijakan diranah perpajakan yang menjajikan tertutupnya kesenjangan gender, dengan cara meningkatkan status perempuan di pasar tenaga kerja dengan mendorong peningkatan lapangan kerja bagi perempuan serta mendorong peningkatan upah bagi perempuan, dan mendorong terbentuknya regulasi tarif pajak yang ramah bagi perempuan.
Agar lebih memahaminya, mari kita meninjau latar belakang mengapa kebijakan ini begitu penting. Secara umum dalam keluarga, laki-laki memilki peran utama sebagai pencari nafkah. Oleh karena itu umumnya laki-laki memilki jumlah pendapatan lebih tinggi dari permpuan, belum lagi factor akses ke pekerjaan formal yang cenderung lebih banyak diisi oleh kaum adam.
Studi oleh Gunnarson et al. (2017) di Uni Eropa rata-rata jumlah wanita yang bekerja untuk kasus yang terendah hanya mencapai 46% dan untuk kasus yang tertinggi mencapai 78%. Sementara itu per 2021 Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan hanya sekitar 35%-42% perempuan di Indonesia yang bekerja. Untuk pendapatan kaum perempuan juga terhitung lebih rendah dari laki-laki.
Belum lagi persoalan “pajak merah muda” yang digunakan dalam terminology pajak untuk menggambarkan praktik pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi atas barang-barang/produk yang diperuntukan untuk wanita ketimbang produk yang diperuntukan untuk pria. Contohnya ialah seperti produk perawatan pria yang memilki disparitas harga dengan produk perwatan wanita yang malah cenderung lebih mahal.
Dalam beberapa kasus dibeberapa negara terdapat pengenaan tarif pajak untuk pembalut/tampon yang sudah pasti dibeli oleh perempuan saat siklus menstruasi mereka datang, sehingga lagi-lagi perempuan harus mengeluarkan uang yang lebih banyak dari pada laki-laki.
Sebagai aturan umum, laki-laki dan perempuan dikenakan pajak yang sama dalam hal nominal, tetapi sistem perpajakan secara tidak sengaja telah menciptakan ketidaksetaraan gender di masyarakat karena karakteristik sosial dan ekonomi mereka yang berbeda, seperti tingkat pendapatan dan partisipasi dalam angkatan kerja.
Untuk memastikan bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh (inclusive growth), pemerintah perlu memikirkan bagaimana sistem perpajakan akan mempengaruhi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, yang berbeda dalam banyak hal. Ini adalah salah satu alasan di balik pajak berbasis gender.
Beberapa negara telah mulai menerapkan kebijakan GBT ini diantaranya di Singapura terdapat insentif pajak bagi perempuan yang melahirkan berupa pengenaan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dua kali lipat, yang artinya pajak PPh yang dibayarkan jauh lebih sedikit. Salah satu negara di Afrika memberikan insentif berupa pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk popok dan pembalut.
Guna mewujudkan pajak berbasis gender ini, pemerintah Indonesia dapat mengupayakan penerapan PPN berbasis gender yang dapat diterapkan dengan skema pembebasan pajak, pengurangan tarif atau bahkan tarif nol pada barang atau jasa tertentu, terutama yang digunakan oleh perempuan dan anak perempuan.
Sumber:
The Jakarta Post, Komite Pengawasan Perpajakan Kementerian Keuangan, OECD.org