Ringkasan Jawaban:
Pembahasan Lengkap:
Terima kasih Bapak Endang atas pertanyaannya. Sebelumnya, kita perlu memahami apa itu Pajak Masukan dan Pajak Keluaran.
Pajak Masukan merupakan PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh PKP karena perolehan BKP dan/atau perolehan JKP dan/atau pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean dan/atau impor BKP. Sementara, Pajak Keluaran merupakan PPN terutang yang wajib dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP, ekspor BKP Berwujud, ekspor BKP Tidak Berwujud dan/atau ekspor JKP.
Pajak Masukan hanya dapat dikreditkan ketika terdapat Pajak Keluaran. Jadi, selama Pajak Keluaran terutang, Pajak Masukan atas perolehan yang berkaitan dengan penyerahan tersebut dapat dikreditkan dalam Masa Pajak yang sama sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2) UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah s.t.d.t.d. UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU PPN”).
“Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.”
(Pasal 9 ayat (2) UU PPN)
Namun, ketentuan tersebut tidak berlaku bagi Pajak Masukan yang disebutkan dalam Pasal 9 ayat (8) UU PPN. Pasal tersebut mengatur tentang Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan meskipun terdapat Pajak Keluarannya.
“Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:
a. dihapus.
b. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
d. dihapus;
e. dihapus;
f. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
g. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
h. dihapus;
i. dihapus; dan
j. dihapus.”
(Pasal 9 ayat (8) UU PPN)
Pasal 9 ayat (8) memperjelas apa saja Pajak Masukan yang tidak boleh dikreditkan. Sebelumnya dalam ketentuan Pasal 9 ayat (8) terdapat beberapa Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan, namun hal ini dianulir dengan adanya UU Cipta Kerja. Pajak Masukan yang sebelumnya tidak dapat dikreditkan selain ketentuan diatas diantaranya Pajak Masukan atas perolehan:
- BKP atau JKP sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP
- Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP
- Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak
- Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPN yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan
- Perolehan BKP selain barang modal atau JKP sebelum PKP berproduksi.
Oleh karena itu, tidak semua Pajak Masukan dapat dikreditkan meskipun Pajak Keluarannya terutang. Merujuk pada Pasal 9 ayat (8) UU PPN telah memberikan perincian tentang Pajak Masukan yang tidak boleh dikreditkan. Namun, Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan tersebut tetap dapat menjadi biaya pengurang dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak sebagaimana diatur di dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 Perubahan atas PP Nomor 94 Tahun 2010 tentang Perhitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (“PP-45/2019”).
“Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang dapat dibuktikan Pajak Masukan tersebut:
a. benar-benar telah dibayar; dan
b. berkenaan dengan pengeluaran yang berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.”
(Pasal 10 ayat (1) PP-45/2019)
Dengan demikian, sepanjang Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan memenuhi ketentuan yang tercantum pada Pasal 10 ayat (1) PP-45/2019, maka Pajak Masukan tersebut dapat diperlakukan sebagai biaya pengurang penghasilan bruto.