Selasa, 26 September 2023, menjadi waktu yang bersejarah bagi perdagangan efek nasional. Hari itu, Presiden Joko Widodo meresmikan IDXCarbon sebagai penyelenggara perdagangan karbon di Tanah Air. Dengan dimulainya bursa karbon, tersemat harapan akan adanya penurunan emisi penyebab krisis iklim.
Hal yang pasti adalah harapan tersebut tak dapat terwujud secara instan. Pada hari peresmian bursa karbon, tercatat total transaksi yang terhimpun mencapai Rp 29,2 miliar dengan volume karbon 459,95 ton CO2 ekuivalen. Kemudian, tidak ada aktivitas transaksi sama sekali di hari berikutnya, hingga hari ke delapan, yakni pada Rabu (4/10/2023). Pada hari tersebut tercatat terjadi transaksi sebesar Rp 974.400 untuk 14 ton unit karbon.
Dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Komisioner (RDK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) September 2023, Senin (9/10), Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Deviratif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi menjelaskan, pengguna jasa bursa karbon belum cukup banyak karena baru memasuki tahap awal.
Di samping itu, ia menegaskan bahwa mekanisme dan karakter perdagangan di bursa karbon berbeda dengan pasar modal. ”Bursa karbon bukan pasar spekulatif yang dalam sehari bisa jual beli atau keluar masuk pasar,” ujarnya.
Jika dilihat dari sejarahnya, perdagangan karbon merupakan salah satu bentuk komitmen Indonesia terhadap Perjanjian Paris yang diharapkan mendorong pencapaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional (NDC) diperkuat dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK), yaitu 31,89 persen dengan kemampuan sendiri atau 43,20 persen dengan bantuan internasional pada 2030.
Sebagai tindak lanjut, pemerintah menerbitkan sejumlah perangkat regulasi terkait pasar karbon. Salah satunya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Berdasarkan perpres tersebut, perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi GRK melalui kegiatan jual beli kredit karbon. Dalam mekanisme ini, emisi GRK diberi harga atau yang biasa dikenal nilai ekonomi karbon (NEK). Tujuannya agar emisi karbon mahal sehingga penghasil emisi mengurangi atau bahkan menghentikan produksi emisi GRK. Sederhananya, ini adalah insentif untuk mengurangi emisi.
Kredit karbon diterbitkan dalam bentuk sertifikat pengurangan emisi (SPE-GRK) atau persetujuan teknis batas atas emisi bagi pelaku usaha (PTBAE-PU). Keduanya menjadi obyek fisik yang diperjualbelikan dalam ekonomi karbon.
Dalam waktu dekat, menurut Inarno, terdapat satu pelaku perdagangan yang akan mendaftar ke bursa karbon. ”OJK berharap ke depan pasokan dan permintaannya semakin banyak,” ujarnya.
Saat ini, para pelaku dalam bursa karbon sendiri tercatat ada 16 korporasi, yang mana satu korporasi merupakan penjualnya, yaitu PT Pertamina Geothermal Energy Tbk, dan 15 perusahaan bertindak sebagai pembeli. Emiten-emiten yang saat ini sudah bergabung dengan bursa karbon bergerak di bidang transportasi, perbankan, dan energi.
Dari ke-16 emiten di bursa karbon, tidak ada satu pun perusahaan yang bergerak di sektor manufaktur. Padahal, berdasarkan tujuannya, salah satu sektor yang menjadi sasaran utama dari pendirian bursa karbon adalah sektor manufaktur yang dianggap berkontribusi terhadap pelepasan emisi karbon ke udara.
Dorongan pajak karbon
Ketua Bidang Industri Manufaktur Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bobby Gafur Umar menilai, sektor manufaktur nasional saat ini masih membutuhkan waktu untuk bisa terlibat aktif di bursa karbon. Salah satu alasannya adalah karena implementasi pajak karbon yang belum diberlakukan dalam waktu dekat.
”Jika pajak karbon sudah diberlakukan, otomatis sektor manufaktur tidak bisa buang emisi sembarangan. Ada kompensasinya,” kata Bobby.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menilai, saat ini bursa karbon masih bersifat sukarela sehingga tidak ada tuntutan bagi sektor usaha atau pihak penghasil emisi karbon untuk punya unit karbon. Seandainya pajak karbon sudah diberlakukan, ia yakin transaksi di bursa karbon dapat lebih aktif.
Pasalnya, dengan berlakunya pajak karbon, sektor usaha atau pihak yang menghasilkan emisi karbon perlu memilih antara membayar pajak karbon dan membeli unit karbon sebagai kompensasi atas emisi yang mereka keluarkan. ”Jadi, kondisinya akan berbeda saat pajak karbon sudah diberlakukan,” kata Prianto.
Dari sisi penerimaan negara, lanjutnya, tidak ada risiko ketika pemerintah memberlakukan pajak karbon kendati implementasi pajak baru dilaksanakan setelah berlakunya pajak karbon. Kendati demikian, lanjut dia, pemerintah tetap perlu memastikan terpenuhinya empat aspek sebelum menerapkan pajak karbon.
”Tidak ada risiko secara fiskal jika pajak karbon diberlakukan. Sesuai Undang-Undang HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan), pajak karbon bisa diterapkan saat empat aspek sudah terpenuhi,” tutur Prianto.
Adapun keempat aspek yang wajib terpenuhi sesuai dengan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, adalah memuat strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan, dan/atau keselarasan antarberbagai kebijakan lainnya.
Menurut Prianto, setidaknya terdapat dampak positif penerapan pajak karbon bagi korporasi ataupun bagi perekonomian secara umum. Sektor swasta akan mendapat lebih banyak opsi pembiayaan, sementara bagi perekonomian nasional, pajak karbon menjadi langkah fiskal untuk memperbaiki lingkungan di Tanah Air dan membangun sistem ekonomi keberlanjutan.
Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara memastikan pemerintah tetap akan memberlakukan pajak karbon meskipun implementasinya tidak bersamaan dengan peluncuran bursa karbon.
”Jadi, kapan diterapkan pajak karbon? Kita akan lakukan pajak karbon sejalan dengan roadmap dari pasar karbon kita,” ujar Suahasil dalam situs Kementerian Keuangan.
Suahasil menegaskan, tujuan utama dari penerapan pajak karbon bukanlah untuk menambah penerimaan negara, melainkan untuk memberikan alternatif bagi dunia usaha agar dapat berkontribusi dalam pencapaian emisi nol bersih (net zero emission). ”Jadi, bayar saja pajaknya kalau tidak mau beli karbon kredit,” ujarnya.
Artikel ini telah tayang pada 14 Oktober 2023 dengan judul “Penantian Pajak Karbon di Balik Sunyinya Transaksi Bursa Karbon” melalui tautan berikut
https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2023/10/13/penantian-pajak-karbon-dibalik-sunyinya-transaksi-bursa-karbon