Dwi Purwanto – Governance Analyst di Pratama Institute for Fiscal Policy & Governance Studies
Kompas.id | 12 Desember 2023
Direksi dan komisaris perusahaan harus memiliki perpaduan latar belakang dan keahlian yang tepat, termasuk keberagaman jender, untuk memperoleh perspektif dan kepentingan dalam pengambilan keputusan. Keberagaman jender pada level pimpinan perusahaan juga dipandang sebagai tolok ukur efektivitas kinerja dan pengungkapan lingkungan, sosial, tata kelola (environmental, social, governance/ESG) karena dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas perusahaan.
Dalam rangka meningkatkan kualitas kinerja dan pengungkapan ESG, semakin banyak pihak yang memberi perhatian terhadap keberagaman jender pemimpin perusahaan terbuka. Di tingkat global, pada 2022, terdapat 24,5 persen perempuan yang berada di posisi direksi dan dewan komisaris (women on boards/WoB) di 50 negara. Secara spesifik, persentasenya adalah 15,9 persen di negara berkembang dan 31,3 persen di negara maju (MSCI, 2022).
Jika mengamati perkembangan WoB setiap tahun, pada 2020 terjadi pelambatan sebesar 1,1 persen jika dibandingkan dengan akhir 2019 yang sebesar 2,1 persen. Namun, pada 2021, pertumbuhan WoB kembali meningkat dan terus meningkat pada 2022, baik di negara maju maupun negara berkembang. Pada 2022 terjadi peningkatan keterwakilan WoB, yaitu sebesar 1,9 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Di Indonesia, data Bursa Efek Indonesia (BEI) mengenai keberagaman jender pada 200 perusahaan yang tercatat di BEI pada periode 2019-2021 menunjukkan bahwa perempuan memegang 15 persen peran eksekutif. Sementara itu, perusahaan telah mencapai kesetaraan jender sebesar 21 persen, dengan perempuan CEO mencapai 4 persen, yaitu delapan perempuan CEO sejak 2019.
Angka keterwakilan perempuan dalam kepemimpinan perusahaan terbuka tersebut sama dengan di badan usaha milik negara (BUMN). Sebagaimana disampaikan Menteri BUMN, pada Desember 2022 kepemimpinan perempuan di BUMN baru mencapai 15 persen (Kompas TV, 2022). Sementara itu, di industri perbankan, dari 543 kursi direksi semua bank yang beroperasi di Indonesia, hanya 19 persen yang diisi perempuan.
Persentase perempuan yang menduduki posisi di tingkat direksi terbesar terdapat pada bank swasta sebesar 22 persen, bank pemerintah sebesar 14 persen, dan bank daerah sebesar 11 persen. Selanjutnya, bank syariah memiliki keterwakilan perempuan terbesar di tingkat direksi, yaitu 21 persen, sedangkan bank konvensional sebesar 19 persen (Kompas, 2023).
Meski demikian, angka WoB Indonesia tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata angka WoB global yang sebesar 24,5 persen. Lantas, mengapa isu keberagaman jender penting dalam kinerja dan pengungkapan ESG di perusahaan?
Penerapan isu keberagaman jender di tingkat pimpinan perusahaan perlu didorong karena komposisi WoB yang lebih besar memiliki dampak positif terhadap skor pengungkapan ESG secara keseluruhan dan spesifik (Gurol & Lagasio, 2023). Hal ini disebabkan keberadaan WoB mampu mendorong kinerja dan pengungkapan ESG dan lingkungan hidup (Mohammad, Zaini, & Kassim, 2023).
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara keberagaman jender dalam boards (level pimpinan) dan kinerja keberlanjutan di berbagai indikator keberlanjutan (Disli, Yilmaz, & Mohamed, 2022).
Perempuan juga mempunyai hak dan kewenangan yang sama dengan laki-laki dalam hal mengelola perusahaan. Oleh karena itu, keberagaman jender harus didorong karena pertimbangan etis dan moral untuk mempromosikan keadilan (fairness) (Kaiser, et al, 2013).
Jika dilihat dari jumlah WoB, hasil penelitian merekomendasikan minimal tiga perempuan sebagai tipping point yang diperlukan untuk memengaruhi kinerja boards. Hal ini disebabkan boards yang memiliki tiga atau lebih direktur perempuan memiliki dampak yang positif terhadap kinerja perusahaan dibandingkan dengan boards yang memiliki dua atau lebih sedikit direktur perempuan (Tleubayev, Bobojonov, Gagalyuk, & Glaubend, 2019).
Perempuan juga cenderung memiliki pengaruh yang lebih besar dalam pengambilan keputusan jika boards memiliki tiga atau lebih anggota perempuan (Konrad & Kramer, 2006). Selain itu, pada 2011-2016, perusahaan Amerika Serikat yang memiliki setidaknya tiga perempuan di boards mengalami peningkatan rata-rata return of equity (ROE) sebesar 10 persen dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki direktur perempuan (MSCI, 2016).
Langkah awal
Kinerja dan pengungkapan ESG merupakan konsep penting dalam dunia tanggung jawab dan keberlanjutan perusahaan. Istilah tersebut mengacu kepada cara perusahaan mengelola kewajiban lingkungan, sosial, dan tata kelola kepada pemangku kepentingan perusahaan. Kinerja ESG mengukur seberapa baik suatu perusahaan dalam memenuhi ESG-nya. Hal ini berfokus pada hasil aktual, seperti jejak karbon perusahaan atau keberagaman tenaga kerja.
Sementara itu, pengungkapan ESG merupakan ukuran seberapa baik suatu perusahaan mengomunikasikan kewajiban ESG-nya kepada pemangku kepentingan perusahaan. Hal ini berfokus kepada transparansi dan komunikasi perusahaan, seperti seberapa banyak informasi yang diungkapkan dalam laporan keberlanjutan dan dokumen lainnya.
Dengan mempertimbangkan kemungkinan peningkatan kinerja dan pengungkapan ESG, keberadaan WoB patut menjadi pilihan bagi perusahaan. Namun, perlu perhatian dan upaya ekstra untuk mendorong perusahaan menerapkannya mengingat data angka WoB masih lebih rendah dari 30 persen dan laju kenaikan WoB cenderung melambat.
Terdapat tiga cara untuk mendorong implementasi WoB. Pertama, melalui ketentuan kuota yang mengikat (binding). Spanyol merupakan salah satu negara paling ketat yang mewajibkan 40 persen boards diisi oleh perempuan, dan kewajiban ini tertuang dalam Spanish Gender Equality Act tahun 2007. Ketentuan tersebut memberikan insentif bagi perusahaan yang memenuhi kuota dapat menerima preferensi untuk melakukan tender di sektor publik.
Opsi kedua adalah dengan menetapkan proporsi perempuan dalam boards, tetapi bersifat sukarela (voluntary). Ketentuan ini dicantumkan dalam Pedoman Good Corporate Governance (GCG) di beberapa negara dan diberlakukan dengan pendekatan comply or explain. Pedoman ini mewajibkan perusahaan untuk melaporkan kemajuannya dalam laporan kepatuhan GCG setiap tahun. Negara yang menerapkan pendekatan ini adalah Australia, Malaysia, dan Singapura.
Cara ketiga adalah membangun kesadaran (awareness) mengenai pentingnya WoB bagi kinerja dan pengungkapan ESG sehingga perusahaan terdorong untuk menerapkannya. Dengan adanya kesadaran dari perusahaan, ketentuan khusus yang mengatur tentang WoB di perusahaan tidak perlu ada.
Indonesia belum memiliki regulasi khusus yang mengatur atau merekomendasikan keberadaan WoB. Oleh karena itu, sudah waktunya pemerintah dan pemangku kepentingan mulai serius mempertimbangkan penerapan WoB. Penerapan keberagaman jender dapat dilakukan secara berjenjang, diawali dengan pendekatan secara sukarela dan membatasi penerapannya pada perusahaan terbuka.
Hal itu terjadi karena di wilayah hukum yang telah menerapkan ketentuan kuota yang mengikat atau pendekatan secara sukarela, keterwakilan perempuan di boards telah meningkat secara signifikan. Selain itu, perkembangannya dapat diamati karena data perusahaan terbuka bersifat transparan dan dapat diakses oleh siapa saja, termasuk pemegang saham, investor, kreditor, dan pemangku kepentingan lainnya.
Dengan ketiga cara tersebut, ke depan, diharapkan peran dan kontribusi perempuan akan semakin optimal dalam meningkatkan kinerja dan pengungkapan ESG sekaligus meningkatkan transparansi dan akuntabilitas perusahaan.
Artikel ini telah tayang pada laman Kompas.id dengan judul “Keberagaman Jender Pimpinan Perusahaan dan ESG” pada 12 Desember 2023, melalui tautan berikut:
https://www.kompas.id/baca/opini/2023/12/11/keragaman-jender-pimpinan-perusahaan-dan-esg?open_from=Opini_Page