Ringkasan Jawaban
Pembahasan Lengkap
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) memang pada dasarnya merevisi ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) atas natura dan/atau kenikmatan. Dalam UU HPP, natura (imbalan yang diterima dalam bentuk barang) atau kenikmatan (hak atas pemanfaatan suatu fasilitas dan/atau pelayanan) merupakan objek pengenaan PPh sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPh s.t.d.t.d. UU HPP sbb.:
“(1) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya termasuk natura dan/atau kenikmatan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;”
Namun, tidak semua natura ditetapkan sebagai objek pajak. Pasal 4 ayat (3) huruf d mengatur sebagai berikut:
“(3) Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan, meliputi:
1.makanan, bahan makanan, bahan minuman, dan/atau minuman bagi seluruh pegawai;
2. natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu;
3. natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan;
4. natura dan/atau kenikmatan yang bersumber atau dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa; atau
5. natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu;”
Iuran BPJS sendiri bukan merupakan natura sebagaimana diatur dalam ketentuan di atas. Dengan demikian, perlakuan pajaknya tidak dapat dipersamakan dengan natura/kenikmatan. Iuran BPJS terbagi menjadi 2 jenis, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
BPJS Kesehatan termasuk dalam kategori asuransi kesehatan. Iuran/premi asuransi kesehatan dapat dibayarkan oleh Wajib Pajak (WP) orang pribadi ataupun dibayarkan oleh pemberi kerja. Perlakuan pajak bagi pemberi kerja atas kedua pembayaran premi ini pun berbeda. Apabila premi asuransi kesehatan dibayarkan oleh pemberi kerja, premi tersebut akan dihitung sebagai penghasilan bagi WP orang pribadi yang bersangkutan sehingga akan menambah penghasilan kena pajak dalam penghitung PPh Pasal 21. Sementara bagi pemberi kerja, premi asuransi kesehatan tersebut dapat menjadi pengurang dalam menghitung PPh Badan perusahaan.
Kemudian, apabila premi asuransi kesehatan dibayarkan sendiri oleh WP orang pribadi, premi tersebut juga akan menjadi objek PPh Pasal 21. Namun bagi pemberi kerja, premi asuransi kesehatan tersebut tidak dapat menjadi pengurang dalam menghitung PPh Badan. Hal ini diatur di dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d UU PPh sbb.:
“(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;”
Setiap pembayaran premi BPJS Kesehatan baik yang dilakukan oleh pegawai sendiri maupun oleh perusahaan pemberi kerja akan menjadi objek PPh Pasal 21 bagi pegawai.
Sementara, iuran BPJS Ketenagakerjaan terbagi menjadi 4 kategori yaitu JHT (Jaminan Hari Tua), JKK (Jaminan Kecelakaan Kerja), JKM (Jaminan Kematian), dan JP (Jaminan Pensiun). Perlakuan pajak untuk iuran/premi JHT dan JKK sama dengan perlakuan pajak untuk BPJS kesehatan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Untuk pembayaran santunan berupa BPJS Kesehatan, JKK, dan JKM dari BPJS kepada WP orang pribadi nantinya tidak lagi dikenakan PPh Pasal 21 karena telah menjadi objek ketika terjadi pembayaran iuran asuransi kepada BPJS sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf e UU PPh.
“(3) Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
e. pembayaran dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit, atau karena meninggalnya orang yang tertanggung, dan pembayaran asuransi beasiswa;”
Kemudian, untuk JHT dan JP akan menjadi objek PPh Pasal 21 ketika perusahaan asuransi dalam hal ini BPJS memberikan santunan kepada pegawai. Dengan demikian, atas iuran/premi yang dibayarkan setiap bulannya akan dikecualikan sebagai objek PPh sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf g UU PPh sbb.:
“(3) Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Otoritas Jasa Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;”
Namun, iuran pensiun (JHT dan JP) yang dibayarkan oleh pemberi kerja dapat menjadi biaya pengurang dalam menghitung PPh Badan pemberi kerja. Hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c UU PPh sbb.:
“(1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
e. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;”
Kesimpulannya, yang menjadi objek PPh Pasal 21 bagi pegawai adalah iuran/premi asuransi kesehatan (BPJS Kesehatan), premi asuransi kecelakaan (JKK), premi asuransi jiwa (JKM), baik yang dibayarkan oleh pemberi kerja maupun pegawai itu sendiri. Selain itu, santunan dana pensiun (JHT dan JP) akan menjadi objek PPh Pasal 21 ketika santunan tersebut diberikan oleh perusahaan asuransi kepada pegawai di kemudian hari. Pada dasarnya ketentuan mengenai asuransi dalam UU HPP tidak mengalami perubahan sehingga sama seperti ketentuan sebelumnya.